Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Pedagang kaki lima layak mendapatkan ruang kota?


    Kami sering menemukan masalah yang terkait dengan pedagang kaki lima (pedagang kakilima) di banyak kota di Indonesia. PKL melakukan kegiatan mereka di trotoar, taman kota, jembatan penyeberangan, dan bahkan di jalan-jalan. Mereka sering dilihat sebagai mata-luka dan kegiatan yang tidak diinginkan. Dalam banyak kasus, pihak berwenang secara paksa mengusir pedagang kaki lima atas nama tata kota dan kebersihan. PKL sering menolak penggusuran dan menuntut ruang untuk kegiatan mereka. Apakah pedagang kaki lima layak mendapatkan ruang kota untuk kegiatan mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin memperkenalkan konsep informalitas perkotaan sebagai kerangka kerja untuk memahami pedagang kaki lima yang terjadi di daerah perkotaan.
    Konsep informalitas perkotaan dimulai dari dikotomi antara sektor formal dan sektor informal yang dibahas pada awal tahun 1970-an. Sektor informal adalah fenomena yang sangat umum yang terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di Amerika Latin, Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total angkatan kerja. Di Indonesia, menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2008, 73,53 juta dari 102,05 juta (72%) pekerja bekerja di sektor informal.
    Meskipun diskusi telah dilakukan selama lebih dari tiga puluh tahun, tidak ada konsensus mengenai definisi yang tepat dari sektor informal (Maloney, 2004). Pemahaman tentang sektor informal lebih sering dikaitkan dengan dikotomi antara sektor formal dan informal. Sektor informal sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (1972). ILO mengidentifikasi setidaknya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor ini: (1) mudah masuk, (2) mudah memperoleh bahan mentah, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) persyaratan keahlian, dan (7) deregulasi dan persaingan pasar.

Dikotomi sektor formal dan informal sering mengabaikan pentingnya sektor informal sehubungan dengan ruang perkotaan. Sektor informal sering terpinggirkan di ruang perkotaan, meskipun sektor informal menyumbang 70% dari pekerjaan perkotaan.
    Ananya Roy dan Nezar Alsayyad (2004) memperkenalkan konsep kawasan perkotaan informal sebagai logika yang menjelaskan proses transformasi perkotaan. Mereka tidak menekankan pada dikotomi sektor formal dan informal tetapi pada pemahaman bahwa sektor informal adalah bagian dari struktur ekonomi masyarakat. Informalitas perkotaan adalah mode urbanisasi yang menghubungkan berbagai kegiatan ekonomi dan ruang di daerah perkotaan. Informalitas Inis bukan hanya domain bagi orang miskin tetapi juga penting untuk populasi kelas menengah.
    Dua teori perkotaan, Chicago School of Urban Sociology dan Los Angeles School of Urban Geography telah mendominasi wacana pembangunan perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kedua teori urban didasarkan pada fenomena yang terjadi di kota-kota urban di Amerika Serikat. Sekolah Chicago Sosiologi Urban, yang dikembangkan pada awal 1920-an menjelaskan perkembangan migrasi perkotaan yang dikendalikan dengan menghasilkan pola ekologis, seperti invasi, kelangsungan hidup, berasimilasi, adaptasi dan kerja sama. Sekolah Los Angeles School of Urban Geography dimulai pada akhir 1990-an untuk menjelaskan perkembangan metropolitan Los Angeles di era postmodern yang menekankan pentingnya globalisasi ekonomi dan politik ekonomi kapitalis.
      Dominasi kedua teori perkotaan dalam wacana pembangunan perkotaan mempengaruhi perencanaan tata ruang kota di negara-negara berkembang. Praktik perencanaan yang mereplikasi teori-teori perkotaan melalui dikotomi negara maju dan berkembang menjadi ada di mana-mana. Ini menjadi masalah ketika replikasi seperti itu tidak lagi relevan dengan fenomena urban yang unik di negara berkembang, seperti sektor informal.
    Masalah-masalah yang muncul sehubungan dengan PKL sebagian besar disebabkan oleh kurangnya ruang perkotaan untuk PKL. Perencanaan tata ruang kota yang tidak didasarkan pada pemahaman konsep informalitas perkotaan akan cenderung mengabaikan permintaan ruang untuk mengakomodasi sektor informal, termasuk pedagang kaki lima. Selain itu, dominasi Sekolah Chicago dan Los Angeles dalam praktek perencanaan kota di Indonesia telah berkontribusi pada kurangnya ruang untuk sektor informal di daerah perkotaan. Ruang-ruang di daerah perkotaan didominasi oleh sektor perkotaan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan ruang untuk sektor informal terpinggirkan.
    Penerapan konsep informalitas perkotaan dalam memahami fenomena PKL akan mengubah perspektif kita tentang keberadaan PKL di daerah perkotaan. PKL bukanlah kelompok yang gagal masuk ke sistem ekonomi di daerah perkotaan. Mereka adalah salah satu moda dalam transformasi urban yang tidak dapat dipisahkan dari ekonomi urban. Mereka adalah salah satu komponen ekonomi perkotaan yang akan menguntungkan pembangunan perkotaan.
    Fenomena pedagang kaki lima di kota-kota di Indonesia harus ditafsirkan dalam konteks transformasi perkotaan. Penerapan konsep informalitas perkotaan dalam praktek perencanaan perkotaan akan mengalokasikan lebih banyak ruang perkotaan untuk PKL dan mengintegrasikannya dengan sektor formal. Praktek perencanaan kota di Indonesia juga tidak boleh meniru sekolah Chicago dan Los Angeles, tetapi memodifikasinya dan memperhitungkan fenomena urban yang unik termasuk sektor informal. Sektor informal, termasuk pedagang kaki lima, berhak mendapatkan lebih banyak ruang perkotaan untuk mengakomodasi kegiatan mereka yang merupakan bagian dari sistem ekonomi perkotaan.
    Undang-undang perencanaan tata ruang baru 26/2007 telah menetapkan pentingnya sektor informal di daerah perkotaan, tetapi penerapan undang-undang baru ini belum sepenuhnya ditegakkan. Penegakan penuh dari undang-undang perencanaan tata ruang baru dan pemahaman konsep informalitas perkotaan diperlukan untuk memastikan ketersediaan ruang perkotaan bagi PKL.


Referensi:
Organisasi Perburuhan Internasional. (1972). Pekerjaan, Pendapatan dan Kesetaraan: Strategi untuk Meningkatkan Ketenagakerjaan Produktif di Kenya. Jenewa: ILO.
Maloney, William. (2004). Informalitas Revisited. Pembangunan Dunia 32 (7): 1159-1178
Roy, Ananya dan Nezar Alsayyad. (2004). Informalitas Perkotaan: Perspektif Transnasional dari Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia Selatan. Lanham, MD: Lexington Books.

Posting Komentar untuk " Apakah Pedagang kaki lima layak mendapatkan ruang kota?"