Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Analisis Sengketa Lahan Perkotaan

Analisis Konflik Sengketa Lahan Perkotaan
Konflik Sengketa Lahan Perkotaan (sumber radar.co.id )

Pada tahun 2017 saja terdapat 679 konflik sengketa lahan atau konflik agraria, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) luasannya mencapai 520.491,87 hektar (ha). Hal ini meningkat tajam 50 persen dibandingkan 2016. sumber kompas.com
Kehidupan manusia sangat bereratan penting dengan kepemilikan tanah, jumlah lahan yang sangat sedikit menjadi persinggungan dan perebutan untuk memilikinya, hal ini dapat kita lihat bahwa sengketa tanah terus menerus ada dan menjadi problematikan di perkotaan dalam bentuk identitas yang berbeda beda setiap kasusnya. Tanah dalam masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesejahteraan seseorang, perkembangan kehidupan keluarga, dan kelompok. Mempertahankan tanah berarti mempertahankan hidup dan kehidupan. Maka kajian analisis sengketa lahan perkotaan ini dianggap penulis penting untuk digaungkan agar masyarakat memiliki pengetahuan tentang sengketa lahan diperkotaan. 

Pengertian Sengketa Lahan atas tanah
Sengketa Lahan adalah kejadian yang timbul sengketa hukum untuk menjadi jalan penyelesaian secara administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang mana bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, status tanah, maupun kepemilikannya.

Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, Pasal 1 butir 1 :  
Sengketa Pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai, keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya serta penerbitan bukti haknya, anatara pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi dilingkungan Badan Pertanahan Nasional Sengketa pertanahan yang disingkat dengan sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. 

Sedangkan Konflik pertanahan yang disingkat konflik adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, oeganisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis. 
Tipologi Sengketan Lahan
Menurut Hasim Purba terdapat 3 tipologi sengketa kepemilikan lahan dimasyarakat di Indonesia, tipologi ini membagi 3 macam yaitu; 
  1. Sengketa Horizontal yaitu pihak yang terlibat sengketa lahan perkotaan adalah antara masyarakat dengan masyarakat lainnya yang cenderung terlibat dalam saling klaim. 
  2. Sengketa Vertikal yaitu antara masyarakat dengan pemerintah setempat yang biasanya bermula dari lahan pemerintah yang tidak terawat dan tidak dikuasai terus menerus.
  3. Sengketa Horizontal dan Vertikal disini pihak yang terlibat dalam sengketa lahan perkotaan adalah masyarakat dengan pengusaha (investor) yang di back up pemerintah (oknum pejabat) dan preman. 
Tipologi sengketa lahan perkotaan menurut BPN RI  mengklasifikasikan menjadi 9 macam konflik pertanahan yang kerap terjadi dan berulang ulang, yaitu:
  1. Penguasaan tanah tanpa memiliki hak, yaitu hal ini biasanya berdasarkan perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara) maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu. 
  2. Sengketa batas yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas. 
  3. Sengketa waris, hal ini merupakan perbedaan kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari harta warisan. 
  4. Jual berkali-kali, juga sering kita temui karena kelalaian yang melibatkan instansi pemerintah dan dalam prosesnya akan sulit untuk diselesaikan. 
  5. Sertifikat ganda, bermula dari sistem administrasi yang memiliki sertifikat lebih dari satu yang muncul karena kelalaian dalam data. 
  6. Akta Jual Beli Palsu, kegiatan ini adalah salah satu bentuk pidana yang memperjual belikan hak kepemilikan atas lahan dipalsukan melalui cara cara resmi Badan Pertanahan Nasional.
  7. Kekeliruan penunjukan batas, sengketa ini mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah. 
  8. Tumpang tindih, lebih dari satu pihak memiliki lahan yang tumpang tindih tanahnya. 
  9. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.
Masalah Masalah Sengketa Lahan
Disamping memiliki nilai ekonomis yang tidak pernah turun dan tetap meningkat, tanah juga mengandung nilai yang sangat tinggi dikemudian hari. sehingga kepemilikan lahan akan terus dibutuhkan. Kepemilikan lahan kepada sesorang tidak ada batasnya, seorang dinilai mampu memiliki lahan sebanyak mungkin tanpa ada batasannya.
  • Sumber awal permasalahan sengketa lahan perkotaan adalah lahan yang terbatas, sedangkan kebutuhan pendudukan akan tanah terus meningkat.
  • Adanyan Ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, pembangunan dan pemanfaatan tanah.
  • tanah terlantar dan resesi ekonomi, pluralisme hukum tanah dimasa kolonial, persepsi dan kesadaran “hukum” masyarakat terhadap penguasaan dan pemilikan tanah.
  • Inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penyelesaian masalah reformasi.
  • kelalaian petugas dalam proses pemberian dan pendaftaran hak atas tanah.
  • sistem peradilan yang dinilai tidak mampu memberikan keadilan yang tepat.
  • lemahnya sistem administrasi pertanahan yang tidak bisa menjangkau dan melakukan pengumpulan data riwayat yang terstruktur.
  • tidak terurusnya tanah-tanah aset instansi pemerintah yang berpotensi pengakuan sepihak dari pribadi atau badan.

Konsepsi Penguasaan Hak Atas Tanah 
Penguasaan atas tanah dapat dipakai dalam arti fisik, dan yuridis, penguasaan secara yuridis dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihak. contoh dari pengusaan yuridis adalah kepemilikan Hak lahan yang ditetapkan dan ditinggali terus menerus, namun juga bisa memberikan hak secara yuridis kepada penyewa lahan atau pihak ketiga.

Sengketa Lahan Bersumber dari Faktor Produksi
ini adalah sengketa lahan karena lahan yang dipersepsi atau perbedaan pendapat dikarena adanya nilai produksi yang ekonomis dan dapat menjadi nilai tambah dari lahan yang diperselisihkan. 

Berikut adalah tiga bentuk sengketa lahan karena faktor produksi :
  1. Dalam konteks Perebutan sumber daya agraria seperti sumber daya alam, sumber air dan lainnya. ekspansi besar-besaran oleh pemodal untuk menguasai sumber agraria yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. 
  2. Dalam konteks pemaksaan terhadap komoditas tertentu, kegiatan pemaksaan ini berupa menanam komoditas tertentu pada sektor pertanian, sektor perkebunan, konflik tanah muncul akibat penentuan komoditas yang dimaksudkan untuk mendorong kebutuhan ekspor. 
  3. Dalam konteks masa mengambang, sengketa atau konflik tanah muncul ketika petani tidak mempunyai kaitan dengan elemen kekuatan diatasnya. Pada saat petani tidak mempunyai aliansi kemanapun, posisinya menjadi lemah. 
Model-Model Penyelesaian Sengketa lahan perkotaan 
adalah model penyelesaian sengketa lahan dimasyarakat yang menjadi akhir dari sebuah sengketa lahan di Indonesia. Model model ini adalah harapan terakhir dari sistem yang ditawarkan untuk menyelesaikan sengketa lahan perkotaan. 

Menurut Nader Todd9 model-model atau bentuk-bentuk penyelesaian sengketa atau konflik dalam masyarakat dapat berupa: 
  1. Ajudikasi, adalah Model penyelesaian sengketa melalui institusi pengadilan yang keputusannya mempunyai sifat mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.
  2. Mediasi adalah Model penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai tujuan. Pihak ketiga yang dilibatkan sebagai perantara atau penengah sifatnya pasif karena keputusan yang diambil tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa.
  3. Arbitrasi adalah Model penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yang keputusannya disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa.
  4. Negosiasi adalah Model penyelesaian sengketa yang tidak melibatkan pihak ketiga, namun diselesaikan secara kompromi oleh pihak-pihak yang bersengketa.
  5. Pemaksaan atau Kekerasan adalah Model penyelesaian sengketa yang bersifat memaksa kehendak kepada salah satu pihak kepada pihak lawan, yakni dapat berupa tindakan fisik seperti melakukan perbuatan hukum sendiri.
  6. Penghindaran adalah Model penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh salah satu pihak, di mana pihak yang paling lemah menundukkan diri pada pihak yang lebih kuat. Pihak yang paling lemah ini berupaya untuk melepaskan diri dari kekuasaan pihak yang lebih kuat, misalnya dengan melakukan pemutusan hubungan sosial.
  7. Membiarkan saja adalah Model penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh salah satu pihak dengan tidak melakukan upaya apapun kepada pihak lawan.

Kesimpulan
Sengketa-sengketa atau konflik-konflik yang bermunculan hampir selalu bisa diredam oleh kekuasan agar tidak menjadi meluas,  terkadang pihak yang memiliki sumber daya rendah akan mendapatkan hak yang rendah atau bahkan tidak mendapatkan keuntungan dalam sengketa lahan perkotaan. Untuk meningkatkan posisi tawar dalam sebuah sengketa lahan perkotaan metode persekutuan atau melibatkan banyak pihak yang memiliki pendapat sama untuk mengajukan diri sebagai akumulasi dari pihak pihak bersengketa. 

Jadi sangat jelaslah bahwa kegunaan dan fungsi kepemilikan hak wajib dilindungi oleh pemerintah karena bersifat prinsipil. Setiap pemegang hak atas tanah harus senantiasa mendapatkan perlindungan hukum, kepastian hukum serta diberlakukan yang sama didepan hukum demi sebuah keadilan sehingga manfaat dan fungsi dari pada tanah dapat membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Daftar pustaka :
  1. Kasim dan Suhendar. Petani dan Konflik Agraria. t.k: AKATIGA, 1998 
  2. Abbas, Syahrizal. Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. 
  3. Harsono, Budi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Bandung: Djambatan, 1999. 
  4. Limbong, Bernhard. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margareta Pustaka, 2012. 
  5. Perbedaan Sengketa, Konflik dan Perkara-BPN RI-Deputi Bidang pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. http//d5er.wordpress.com/2010/12/21/perbedaan-sengketakonflik-dan-perkara . Diakses tanggal 19 Juli 2017. 
  6.  Sharif, Elza. Mentuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Jakarta: KPG, 2012. 
  7.  Sulistyono, Andi. Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non Litigasi Dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Kekayaan Intelektual. Program Doktor Universitas Diponegoro, Disertasi, Semarang, 2002. 
  8. Sumardjono, Maria S.W. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: Kompas, 2009. 
  9. Rusmadi Murad, “Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah” Bandung : Alumni, 1999 
  10. Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan

artikel ini diperbaharui pada tahun bulan september 2021

Posting Komentar untuk "Analisis Sengketa Lahan Perkotaan "